Oleh Muhammad Syamsudin*
Hari-hari ini tengah marak diperbincangkan soal potongan 2.5 persen gaji Aparat Sipil Negara (ASN) sebagai zakat profesi. Lewat Menteri Agama RI Lukman Hakim Saifuddin, wacana ini digulirkan sebagai konsumsi publik. Ada yang pro dan ada yang kontra. Hal semacam ini sudah biasa terjadi.
Pada hakikatnya, diskusi mengenai zakat profesi bukanlah hal yang baru. Syeikh Yusuf Qaradhawi jauh hari sudah pernah membincangkannya. Seorang ulama yang menjabat selaku Rais Syuriyah PBNU, Kiai Masdar Farid Mas’udi, malah pernah mewacanakan bahwa pajak adalah implementasi zakat maal itu sendiri.
Dalam kesempatan telewicara di salah satu televisi swasta nasional, yang disiarkan secara live pada Jumat 9 Februari 2018, tampaknya pemerintah, lewat Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin, berusaha melakukan sintesa terhadap kedua arus pemikiran ini. Ia berusaha menggabungkan bahwa 2.5 persen potongan gaji ASN adalah bukan semata sebagai zakat lewat potongan gaji bruto saja, melainkan juga sebagai potongan pendapatan kena pajak.
Jika kita telusuri sejarah zakat di Indonesia, gerakan zakat di tanah air sebenarnya sudah menjadi isu nasional jauh hari di era pemerintahan Presiden Soeharto. Tahun 1968, di sebuah kesempatan peringatan Isra’ Mi’raj yang berada di Istana Negara, ia pernah menyampaikan kesanggupannya sebagai amil zakat. Tidak hanya sekali ia mengajak gerakan zakat ini, dalam beberapa kesempatan yang lain, ia juga mengulangi lagi himbauannya tersebut. Pernyataan Presiden saat itu sebenarnya memiliki latar belakang berupa respon terhadap kegagalan mengundangkan RUU Zakat pertama di Indonesia yang pernah diajukan ke DPR tahun 1967. Kegagalan mengundangkannya ini tidak lain adalah karena jawaban keberatan secara tertulis dari Menteri Keuangan di era tersebut – Frans Seda. Menurutnya, soal zakat adalah tidak perlu dijadikan sebagai Undang-Undang. Ia cukup ditetapkan lewat Peraturan Menteri Agama. Inilah yang menjadi latar belakang terbitnya Peraturan Menteri Agama Tahun 1967 tentang Pengumpulan dan Pengelolaan Zakat. Menyadari pentingnya peran zakat itu sendiri dan sekaligus peran Presiden sebagai Amil Zakat inilah maka Presiden Soeharto menyuarakan kesanggupannya lagi sebagai Amil Zakat Nasional.
Sayangnya, ketika masa yang tepat untuk mengundangkan, seiring sudah mulai tumbuhnya kesadaran masyarakat muslim Indonesia dan kebutuhan pengumpulan zakat dalam level nasional, tahun 1990, Menteri Agama Munawir Sjadzali tidak berhasil membujuk Presiden Soeharto untuk kembali bersedia menjadi Amil Zakat. Lewat petunjuk Presiden, kebijakan pengelolaan zakat diserahkan ke tiap-tiap propinsi dengan melibatkan kepala daerah dalam pengumpulan. Artinya saat itu, yang menjadi amil zakat adalah kepala daerah dan badan yang menangani pengumpulannya menjadi badan non struktural pemerintah. Efeknya, kebijakan penyaluran zakat tidak mampu memberikan warna secara politis dalam lingkup nasional khususnya dalam pembangunan.
Faktor kemungkinan penyebab mengapa saat itu Presiden Soeharto menolak menjadi Amil Zakat secara nasional bisa jadi diakibatkan oleh karena sudah terbentuk lembaga perpajakan. Jika zakat dimasukkan lagi ke dalam bagian pengelolaan, itu berarti dibutuhkan rekonstruksi sistem perpajakan di Indonesia. Sebagaimana diketahui bahwa membangun sistem baru tidaklah murah. Ada biaya operasional yang mahal di sana karena harus melibatkan banyak perombakan perangkat. Berbeda dengan di tahun 1968 yang merupakan awal pemerintahan Orde Baru. Seandainya tidak ada interupsi dari Menteri Keuangan – Frans Seda waktu itu, mungkin zakat telah menjadi satu paket dengan perpajakan.
Wacana pentingnya memperhatikan zakat sebagai bagian dari konsep pembangunan nasional kembali dicuatkan pada masa pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri. Pada pemerintahan Presiden B.J. Habibie sebenarnya persoalan zakat ini juga sudah mulai diperhatikan. Terbitnya UU Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat merupakan wujud dari perhatian ini.
Sayangnya, karena situasi nasional tengah ruwet saat itu dan singkatnya masa pemerintahan pengganti Presiden B.J. Habibie, UU ini belum sempat dirasakan imbasnya ke masyarakat. Baru Tahun 2001, lewat Keputusan Presiden No. 8 Tahun 2001, Presiden Abdurrahman Wahid menetapkan berlakunya Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS). Kedudukan Amil diangkat dan diputuskan langsung oleh Presiden melalui Surat Keputusan Presiden. Sejak saat inilah, baru zakat mendapatkan penanganan langsung dari negara. Namun, dualisme kelembagaan perpajakan dan zakat menjadi bagian dari resiko yang harus terjadi.
Langkah Presiden Abdurrahman Wahid ini mendapat sambutan dari presiden-presiden setelahnya. Presiden Megawati Soekarno Putri pada tahun 2001 melakukan pencanangan Gerakan Sadar Zakat. Latar belakang dari gerakan ini sejatinya bukan tanpa ada penyebab yang melatarbelakanginya. BAZNAS yang sudah ditetapkan semenjak masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid, belum mendapat sambutan dari berbagai pihak. Aparat Sipil Negara sebagai teladan masyarakat, banyak yang tidak melaksanakannya. Demikian juga, perusahaan-perusahaan, para orang kaya negara, juga banyak yang belum melaksanakan hal tersebut. Zakat secara nasional kembali belum berhasil dihimpun secara nasional. Baru setelah masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudoyono, yaitu tepatnya pada tahun 2005, dicanangkan Gerakan Zakat Infak dan Shadaqah dan saat itu berhasil dikukuhkan kepengurusan BAZNAS untuk periode 2004-2007.
Tercatat ada beberapa UU tentang zakat yang berhasil diundangkan pada masa pemerintahan SBY. Namun, dari keseluruhan UU, belum mampu menampung wacana penyatuan pajak sebagai zakat. Pihak yang antuasisme menggulirkan wacana pajak sebagai zakat adalah karena umat Islam di Indonesia mengalami double taxasi (pungutan) wajib. Pertama, pungutan wajib karena agama, yakni berupa zakat. Kedua, berupa pungutan wajib terhadap negara. Kedua pungutan ini dilihat dari sisi keadilan sebagai warga negara adalah dipandang kurang adil, sebab untuk warga yang non-muslim, tidak dikenakan kewajiban semacam. Mereka hanya memiliki satu kewajiban taxasi terhadap negara yaitu pajak.
Di sisi yang lain, ada pihak yang bersifat tidak antusias terhadap wacana penyatuan ini. Alasan yang disampaikan adalah karena dalam terminologi zakat terdapat jalur khusus penyaluran yang membedakannya dari pajak. Baik yang menyambut positif terhadap upaya penyatuan pajak dan zakat, dan pihak yang antitesa terhadap penyatuan tersebut, dalam bingkai wacana adalah sesuatu yang wajar. Dialektika semacam ini memang dibutuhkan. Namun, bagaimanapun juga, dialektika akan tetap menjadi wacana perdebatan yang tidak ada ujungnya bila tanpa ada pihak yang berani melakukan trial and error, melangsungkan eksekusi implementasi di lapangan. Rupanya, inilah yang mendasari wacana pengguliran potongan 2.5 persen terhadap gaji Aparatur Sipil Negara yang dialokasikan sebagai zakat. Bagaimana perkembangan berikutnya wacana tersebut? Kita tunggu saja. Ada kebijakan, pasti ada sistem dan ada aturan serta sanksi. Sebuah qaidah fiqhiyyah patut direnungkan adalah:
تصرف الإمام على الرعية منوط بالمصلحة
Artinya: “Kebijakan imam terhadap rakyatnya adalah berdasar mandat kemaslahatan.”
Wallahu a’lam.
*Penulis adalah Kontributor NU Online Bawean, Jatim
Sumber: nucare