Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sedang mematangkan aturan mengenai startup bidang finacial technology (fintech) khususnya yang bergerak di sektor peer to peer lending (P2P). Fokus utama pembahasan aturan ini adalah tentang azas transparansi dan keadilan yang tertuang dalam principal base.
Wimboh Santoso, Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengatakan, OJK tidak bisa membendung aktivitas P2P lending beroperasi, namun masyarakat tetap harus terlindungi. Itu sebabnya harus memenuhi azas transparansi terkait identitas antara peminjam dan pemberi pinjaman. Teknologi dan perusahaan penyedia platform harus transparan.
Dalam hal azas keadilan, dibahas tentang sejauh mana besaran bunga yang adil bagi peminjam. Menurut Wimboh, rata-rata bunga pinjaman saat ini di P2P lending cukup tinggi, sekitar 19%. “Hal ini yang akan diatur,” jelasnya.
Dari 36 perusahaan P2P lending yang terdaftar di OJK saat ini, rasio kredit bermasalah alias non performing loan (NPL) yang tercatat per Desember 2017 sebesar 0,8%. Sementara per Januari 2018 meningkat menjadi 1,2%.
Jika trennya telah terlihat, OJK bisa saja memberlakukan aturan lock up sejumlah dana yang perlu disediakan perusahaan P2P lending sebagai modal untuk back up risiko. Jumlahnya tergantung sebesar apa bisnis perusahaan tersebut.
Masih menurut Wimboh, perlu kehati-hatian akan risiko default karena kegiatan antara peminjam dan investor dilakukan secara virtual. Tidak ada kedekatan emosional di antara kedua pihak. “Jika terjadi default siapa yang bertanggung jawab? Apakah pemilik perusahaan P2P lending atau investor? Itu yang perlu diatur lewat azas transparansi tadi,” jelasnya. OJK sendiri menargetkan aturan ini akan diluncurkan pada semester I tahun 2018.