Monopoli adalah sebuah paradoks, setidaknya buat saya. Banyak entrepreneur dan pemasar seperti saya yang dididik agar bisa menjadi pengusaha besar, dengan cara membenci perusahaan besar. Setiap hari di bangku kuliah diajari tentang inovasi dan akuisisi pasar, sambil didoktrin bahwa monopoli itu buruk. Itu semacam kita diajari membuat kopi yang enak, sambil diyakinkan bahwa kopi yang enak mengandung sianida.
Tidak ada yang salah dengan anggapan bahwa monopoli itu buruk, namun mengajarkan teknik akuisisi pasar dengan doktrin monopoli yang tidak proporsional rawan membuat kita membangun bisnis dengan rasa bersalah. Tapi bukankah monopoli memang buruk? Iya, monopoli dalam banyak kasus memang buruk untuk masyarakat, terutama monopoli yang terjadi karena bisnis selingkuh dengan kekuasaan.
Ingatan suram tentang buruknya monopoli di Indonesia barangkali dengan mudah akan mengantar kita pada kasus jatuhnya harga cengkeh hingga ke titik yang tidak masuk akal pada kisaran tahun 1992 karena komoditi cengkeh wajib dijual hanya ke satu perusahaan milik anak penguasa kala itu. Ini salah satu contoh buruk monopoli karena perusahaan selingkuh dengan kekuasaan.
Pasar persaingan sempurna juga memiliki banyak sisi buruk, persaingan yang keras dan gila-gilaan membuat orang menjadi sangat dekat dengan sakit jiwa, bahkan menjadi psyco. Persaingan berebut bintang Michelin dilingkungan bisnis kuliner misalnya, merupakan salah satu ajang betapa keras dan mengerikan efek persaingan sempurna ini. Resto dengan bintang michelin, bahkan yang “hanya” bintang satu sekalipun merupakan jaminan bahwa resto tersebut merupakan resto dengan kelas yang prestisius, yang akan memberikan kenyamanan bagi konsumen yang menikmatinya.
Namun dibalik menu lezat dan kenyamanan resto michelin, ada pertarungan keras dibaliknya, ada para chef dan pekerja kuliner yang berada di garis yang sangat dekat dengan sakit jiwa. Salah satu legenda pemegang bintang tiga michelin dari Perancis, chef Bernard Loiseau bahkan pernah berkata “Kalau aku kehilangan satu bintang, aku akan bunuh diri”. Ia kemudian tidak jadi kehilangan bintang, namun pada 2003 tetap bunuh diri. Bernard Loiseau bukan satu-satunya pemegang bintang michelin yang stress akibat persaingan bebas, diawal tahun 2016 ini Benoit Violier, seorang pemilik sekaligus chef terbaik dunia juga ditemukan tewas, yang diduga bunuh diri karena tidak kuat menahan tekanan mengelola resto terbaik di dunia. (bersambung)